Selasa, 14 April 2020

Pesan WS Rendra untuk Para Pendemo dalam Puisinya

Mantan KA UPTD
Demo adalah adalah hak setiap warga. Bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang dianutnya memberikan hak seluas-luasnya kepada seluruh warga negaranya dalam menyampaikan pendapat.

Penyaluran dan pengemukaan pendapat dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang melalui tulisan. Ada yang melalui pementasan karya seni. Ada pula yang menggunakan aksi turun ke jalan.

Aksi turun jalan ini pun juga dapat berupa berbagai macam bentuk. Mulai dengan sekadar orasi. Panggung terbuka, long march, bahkan juga dalam bentuk doa bersama. Masing-masing kegiatan tersebut merupakan aksi penggalangan massa yang menunjukkan kekuatan dukungan. Bahkan yang terbaru adalah 'aksi damai bela islam III'.


Aksi Damai  yang sekarang ini sedang berlangsung di Jakarta, bahkan diberi nama 'Aksi Superdamai'. Maksud penamaan itu seolah hendak menunjukkan bahwa aksi yang digelar adalah aksi yang ingin bertujuan damai. Aksi damai 4 November yang berakhir ricuh, merupakan ulah 'orang lain'.

Terbukti, aksi tersebut diakhiri dengan damai, tanpa ricuh. Meskipun ada indikasi makar oleh beberapa orang. Toh polisi sudah bertindak tepat dan cepat.

Ini dari pelaksanaan demonstrasi atau demo atau unjuk rasa adalah sebuah perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan. Acapkali, perlawanan menuntut adanya korban. Sering juga, orang yang melawan sekadar melawan tanpa tahu harus berbuat apa dalam tahap selanjutnya.

Kenyataan itulah yang juga melatar-belakangi proses penciptaan Puisi yang berjudul Inilah Saatnya.

Berikut ini kutipan Puisi yang berjudul Inilah Saatnya Karya WS Rendra.

Amarah dan duka
menjadi jeladri dendam
bola-bola api tak terkendali
yang membentur diri sendiri
dan memperlemah perlawanan.
Sebab seharusnya perlawanan 
membuahkan perbaikan,
bukan sekadar penghancuran.

Dari kutipan puisi di atas adalah dapat diketahui bahwa sebuah perlawanan yang diliputi amarah dan dendam, akan membentur diri sendiri. Sebuah perlawanan juga berimplikasi pada adanya penghancuran, yang dihancurkan adalah hal negatif yang dilawan. Tetapi, sebuah perlawanan tidak sekadar menghasilkan dan menghadirkan penghancuran, melainkan juga menumbuhkan perbaikan. Menawarkan perbaikan keadaan.

Begitu pula dengan aksi damai yang digelar di Monas 2 Desember ini (212), diharapkan memunculkan perbaikan. Buktinya, aksi yang memang berlangsung damai, dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden. Kedua pemimpin negara ini berjalan kaki dari istana ke lokasi acara.

Hal-hal yang menyejukkan, di tengah khotbah dari Habieb Rizieq Shihab yang berapi-api, ini memunculkan semacam rujuk nasional. Dalam aksi damai sebelumnya, Presiden Jokowi 'enggan' menemui pendemo, sementara pada aksi kali ini, justru turut serta dalam aksi. Keren!

Sebab seharusnya perlawanan
membuahkan perbaikan,
bukan sekadar penghancuran